Dipaksa Menikahi Perempuan Cantik dan Solihah - Seminggu lagi, aku akan menikah, tetapi hari ini aku masih di sini, kota
besar, sendiri memikirkan nasib. Tidak ada uang, tidak ada mobil, tidak
ada pekerjaan, tidak ada apa-apa selain, handphone murah, dan oh...
handphoneku ini juga tak ada pulsanya.
Sewa kontrakan pun belum aku bayar, tetapi aku akan menikah seminggu
lagi. Acaranya sederhana, menikah dengan gadis kampung sebelah, di rumah
keluarga gadis itu, dan aku juga tidak kenal siapa gadis itu. Orang
tuaku yang mengaturnya, dan aku masih berpikir, mengapa orang tua gadis
itu mau menikahkan anaknya dengan seorang laki-laki seperti aku.
Aku lelaki yang apabila ditanya apa kerjanya, aku tidak tahu bagaimana
harus menjawab. Aku memang bekerja, tetapi hanya kerja sambilan di
hotel, membantu kawan-kawan yang berjualan online di internet, dan
sesekali mengikuti seminar MLM. Kebanyakan waktu dihabiskan duduk-duduk
di kontrakan, menatap surat kabar untuk mencari kerja.
Lalu, atas atas dasar apa ayah dan ibu gadis itu, mau menikahkan anaknya
denganku, dan hantaran kawinnya, cuma senaskah Al Quran, dan mas kawin
cuma Rp250.000. Lebih mengherankan, semua biaya acara ditanggung oleh
keluarga si gadis.
Kenapa? Aku semakin tidak mengerti, kok mau orang tua gadis itu,
mengawinkan aku dengan anak perempuannya yang cantik, yang berkerudung
rapi. Ya, aku sudah melihat fotonya, dan karena kecantikannya, aku
walaupun dengan semua keheranan itu, setuju juga dengan pernikahan yang
diatur oleh keluarga ini. Ditambah, perempuan itu lulusan universitas
luar negeri, berkerja sebagai pegawai negeri yang gajinya, cukup untuk
membayar angsuran mobil BMW.
Pada mulanya, aku pikir aku ibarat tikus yang jatuh ke dalam gudang
beras, tapi ketika acara semakin dekat, aku mulai berpikir, mungkin ada
yang disembunyikan oleh keluarga si gadis. Apakah foto yang diberi sama
dengan wajah asli perempuan itu? Apakah perempuan itu sebenarnya janda?
Atau yang paling menakutkan, jangan-jangan perempuan itu sedang
mengandung anak orang lain, dan aku menjadi 'ayah' untuk anak itu.
Dari sinilah kisahku dimulai.
***
Tengah hari itu aku nekat pulang ke kampung halaman. Aku nekat, mencari
tahu latar belakang calon istriku, dan mengapa ibu bapaknya, mau
melepaskan anaknya kepada laki-laki seperti aku. Cuma, aku tidak tahu
bagaimana cara untuk mencari tahu. Selama di dalam bus, aku beruntung
duduk di sebelah seorang laki-laki yang ramah.
Kepada laki-laki itu aku bertanya, “Bagaimana cara cari tahu latar belakang calon istri kita?”
“Mudah kok. Kalau dia ada FB, buka FB dia, atau cari saja nama
lengkapnya di internet. Nanti ada lah informasi tentang dia. Kalau
susah, pergi tempat kerjanya, tanya kawan-kawannya, atau tanya
saudara-saudaranya.”
Untuk mencari tahu tentang calonku itu di internet, nama lengkapya saja
aku tidak tahu. Aku cuma diberitahu, namanya Sarimah. Berapa banyak
orang punya nama Sarimah di internet? Banyak! Lalu aku ambil nasihat
kedua dari laki-laki itu, tanya rekan-rekan sekerjanya, dan mujur aku
tahu gadis itu bekerja di kantor Bappenas.
Sampai di kampung, aku pinjam motor ayah, lalu pergi ke kantor Bappenas.
Aku tidak tahu apa jabatannya, tetapi kantor sebesar itu, pasti banyak
orang yang namanya sama. Tetapi agak tidak logis juga kalau aku langsung
masuk ke kantor dan bertanya tentang calon istriku. Lalu akhirnya aku
ambil keputusan menunggu dan memperhatikan di seberang jalan.
Aku pikir, mungkin pada waktu makan tengah hari, Sarimah dan
kawan-kawannya akan keluar, dan apabila sudah ingat wajah
kawan-kawannya, setelah pulang nanti boleh lah saya tanya tentang
Sarimah. Itulah rencanaku, rencana yang diatur dengan baik. Lalu aku pun
duduk di atas motor menghadap kantor Bappenas yang cuma satu beberapa
meter di depanku.
Kemudian datang pula rasa menyesal, sebab pada jam 11 pagi, cuaca sudah
terik. Di situ belum ada pohon yang rindang, karena semuanya baru saja
dipangkas dahannya. Sudah panas terik, satpam di luar kantor mulai
memperhatikanku. Bukan Cuma satpam, malah orang yang lalu lalang di situ
turut memperhatikan.
Aku lupa, jam kantor seperti itu, segala perbuatan yang tidak biasa akan
jadi perhatian. Perbuatanku, yang duduk di depan kantor bukan perkara
biasa. Nampak terlalu aneh.
Akhirnya, aku semakin menyesal karena dari jauh aku lihat seorang
perempuan keluar dari kantor. Semakin dekat perempuan itu, semakin aku
berdebar. Wajahnya semakin jelas, dengan kerudung kuning muda, dan baju
kurung biru muda. Dia adalah calon istriku, yang Cuma aku kenal namanya.
Sarimah. Hanya itu.
Aku sempat berpikir untuk menghidupkan motor dan kemudian pergi dari
situ. Tetapi semuanya sudah terlambat, kemudian Sarimah berkata, “Kamu
Salman?”
Aku memberikan senyuman yang paling terpaksa pernah aku buat. Lebih
terpaksa daripada senyum terpaksa apabila bertemu dengan guru semasa
sekolah dahulu.
“Ya, saya. Kok kamu bisa tahu?”
“Kawan di kantor yang beritahu, katanya ada laki-laki di sebearang
jalan. Mereka menggodaku, katanya mungkin aku kenal, dan aku pikir
wajahmu sama dengan foto yang ditunjukkan oleh ibu.”
Satu kantor pun tahun aku menunggu disini?! Duh! Payah betul caraku
mencari informasi ini. Kemudian aku memerhatikan wajah Sarimah, dan
ternyata wajah aslinya jauh lebih cantik daripada wajah di foto. Mungkin
karena itu pass foto. Orangtuanya pun hanya memberikan satu foto.
Entahlah, ibu dan ayahku pun mungkin memberikan pass fotoku. Ketika itu
juga aku merasa jantungku berdebar, karena saat mengambil foto itu, aku
baru saja bangun tidur.
Aku perhatikan pula perutnya, tetapi tidak nampak ada tanda-tanda
perempuan mengandung. Saat aku memperhatikan, terasa tangannya menyilang
menutupi perutnya, dan aku malu karena ketahuan memperhatikan perutnya.
Pasti dia sadar kalau aku memperhatikan perutnya, entah apa yang dia
pikirkan sekarang.
Aku rasa, Sarimah ini adalah perempuan yang berani. Berani untuk keluar
berjumpa denganku. Kalau perempuan lain, tentu mereka tidak berani.
Barulah aku sadar, inilah pertemuan pertamaku dengan calon istri aku.
Pertemuan dalam keadaan yang agak aneh.
Selepas pertanyaan itu, kami terdiam. Kami hanya berdiri di tepi jalan
raya, sambil memandang ke arah yang sebenarnya agak aneh untuk
dipandang. Aku memandang ke ujung jalan, dan Sarimah memandang ke arah
motor ayahku.
Aku tahu, ini keadaan yang tidak betul dan aku sebagai laki-laki perlu
menunjukkan contoh yang baik kepada calon istriku. Jadi, selepas puas
berpikir dan memberanikan diri, aku berkata, “Sudah makan?”
“Saya sedang diet.”
Nasib baik bagiku dia bilang sedang diet. Bagaimana kalau dia bilang,
ayo kita makan, aku akan sangat jahat sekali, karena di dalam dompetku
cuma ada uang dua puluh ribu rupiah. Mana cukup. Setelah itu, keadaan
kembali sepi.
“Aku mau kembali ke kantor,” kata Sarimah sopan dan membuatku lega.
“Aku juga mau pulang,” balasku, dan ternyata, rasa legaku tidak berlangsung lama.
“Malam ini datanglah ke rumah.”
“Datang ke rumahmu?”
“Iya, makan malam dengan keluargaku.”
Aku terdiam. Berdebar-debar.
“Jemputlah sekalian ayah dan ibumu kalau mereka tidak ada halangan.”
“Baiklah, selepas maghrib insya Allah aku sampai.”
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa tidak puas hati dengan diriku.
Mengapa aku tiba-tiba menjadi kaku? Seharusnya, pada waktu itulah aku
banyak bertanya dan mencari tahu kenapa dia dan keluarganya memilih aku.
Cuma malam ini aku merasa sedikit bingung. Alamat rumah Sarimah, aku
bisa tanya ayahku, tapi mungkinkah aku patut bawa ayah dan ibuku
sekaligus? Tidak.. Tidak.... Bukannya aku tidak mau, biasanya kalau ada
ibu, habis semua rahasia anaknya dia ceritakan. Beliau senang sekali
menceritakan rahasia anaknya.
Lagipula aku ada banyak rahasia yang tidak patut Sarimah dan orangtuanya
tahu. Rahasia yang paling aku takuti dibocorkan oleh ibu adalah hampir
setiap bulan aku masih meminta uang kepada ibuku. Memang memalukan,
tetapi untuk pergi seorang diri, aku juga tidak berani.
Akhirnya, aku punya ide paling bagus. Aku melajukan motor ayah langsung
ke rumah kawan lamaku, Rudy. Bukan sekedar kawan lama, tetapi juga
sahabat karib. Aku yakin dia ada di rumah, karena dia juga senasib
denganku, belum ada pekerjaan tetap. Bedanya, dia bertarung hidup di
kampung, dan aku bertarung hidup di kota.
Sesampainya di rumah Rudy, aku lihat Rudy sedang duduk di tangga sambil
bermain gitar. Itulah kemampuan Rudy yang sangat aku cemburui. Aku tidak
pandai bermain gitar, bahkan tak tahu caranya.... oh... ada lagi
rupanya kemahiran Rudy yang tidak aku miliki. Rudy pandai menggoda gadis
dengan bermain gitar, dan Rudy sangat berani berhadapan dengan
perempuan, tidak seperti aku. Itulah akibatnya, aku tidak punya
keyakinan apabila berhadapan dengan perempuan.
“Lama banget kau gak muncul,” kata Rudy saat aku duduk di sebelahnya.
“Masa lama sih. Baru juga dua bulan lebih.”
“Lama itu.”
Aku diam, dan coba mendengarkan petikan gitar lagu rock terkenal, 'Suci
Dalam Debu'. Aku coba menyusun kata untuk mengajaknya menemaniku malam
ini, tetapi belum ada kata yang bagus.
“Aku dengar seminggu lagi kau mau nikah. Kok gak ngundang?” kata Rudy,
dan itu secara tidak langsung memberikanku jalan untuk melaksanakan
rencanaku.
“Ini acara pihak perempuan, jadi mereka cuma ngundang kerabat perempuan aja.”
“Kerabatmu gimana?”
Aku diam, karena aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya. Sebab dengan
keuanganku sekarang, hidang mie goreng kepada tamupun aku tidak mampu.
“Lihat nanti saja lah. Kalau nanti kau sampai ke rumah ku, kau pergi dulu saja.”
Rudy semakin mengencangkan petikan gitarnya. Kini lagu Adele pula,
'Someone like you'. Entah mengapa, lagu yang temanya kecewa saja yang
dia mainkan saat ini.
“Dia cantik gak?” Rudy memandang dengan senyuman penuh berharap.
“Cantik.”
“Gimana bisa kenal dia?” Senyuman Rudy kini semakin tinggi harapannya.
Harapan jenis apa aku tidak tahu. Mungkin harapan untuk melihat aku
bahagia. Walaupun aku merasa seperti Rudy pasti berpikir tidak logis aku
mendapatkan gadis cantik.
“Ayah dan ibuku yang menjodohkan. Aku terima saja.”
“Kau belum pernah ketemu dia?”
“Baru tadi.”
“Memang dia cantik?”
“Memang cantik.”
Rudy kini memperlihatkan wajah orang yang sedang gusar dan berpikir panjang.
“Apa pekerjaannya?”
“Pegawai di Bappenas. Aku tidak tahu jabatannya. Tetapi ibuku bilang, dia punya jabatan cukup tinggi.”
“Hmm... Dia cantik, pekerjaan bagus, tapi kok dia mau kawin denganmu? Heran.”
Aku menelan liur. Nampaknya Rudy juga sudah merasa ada sesuatu yang tidak benar. Dia pandangi wajahku.
Rudy menyambung, “Kau, ganteng juga nggak. Heran-heran.”
Aku tersenyum pahit. Aku akui, aku memang tidak tampan dan itu pun sebenarnya merisaukanku juga.
“Kau tidak heran?” tanya Rudy.
“Ya heran juga sih.”
“Kau sudah periksa latar belakang perempuan itu?”
Aku pandangi wajah Rudy. Akhirnya peluangku tiba.
“Malam ini kau ikut aku. Temani aku ke rumah calonku itu.”
“Hah? Buat apa?” Rudy memandang heran.
“Dia ajak aku makan malam di sana. Ketemu dengan ayah dan ibunya. Nanti itu, baru akan aku cari tahu latar belakangnya.”
“Kau pergi sajalah sendiri.” Rudy kembali memetik gitar.
“Kamu kayak gak tahu aku. Aku segan. Aku butuh kamu temani aku. Kamu kan berani, mungkin kamu bantu aku kepo juga.”
“Kepo? Kepoin apa?”
“Tanyain lah hal-hal yang bisa ditanyain. Kamu kan berpengalaman dalam dunia percintaan. Pasti bisa bantu aku.”
Akhirnya, setelah lama aku bujuk, Rudy pun setuju.
***
Malam itu, walaupun aku sudah salin alamat dari ayahku, tetap saja aku
tersesat. Aku sampai selepas Isya, bukannya selepas Maghrib. Aku lihat
makanan sudah terhidang di atas meja, dan nampak sudah dingin. Mungkin
perut Sarimah dan orang tuanya juga sudah lapar.
“Maafkan saya karena terlambat.”
“Gak apa-apa, masuklah,” kata seorang lelaki yang sebaya ayahku. Mungkin dia adalah ayah Sarimah dan calon ayah mertuaku.
“Ooo... Ini dia Salman. Ayahmu bilang kamu akan pulang lusa, kok cepat
bener baliknya?” tegur seorang perempuan, yang aku yakin adalah ibu
Sarimah.
“Ada yang harus diurus dulu di rumah,” balasku dan kemudian berkata,
“Kenalkan ini kawan saya Rudy. Ibu dan ayah saya tidak bisa datang.”
Kemudian, Sarimah keluar dari dapur dan dia kelihatan sangat cantik.
Tertegun aku dan aku sempat melihat wajah Rudy yang ikut tertegun.
“Beruntung kamu,” bisik Rudy.
Selepas makan, kami duduk di ruang tamu dan pada waktu itulah, aku lirik-lirik Rudy supaya mulai menjalankan rencananya.
“Kata Salman, ini pertama kali dia berjumpa dengan bapak dan ibu ya.
Malah dengan Sarimah pun baru tadi ketemu.” kata Rudy, dan aku mulai
berdebar-debar.
“Iya, ini pertama kalinya. Sebelumnya, kami lihat wajahnya dalam pass foto yang diberi oleh ibunya.” jawab ayah Sarimah.
Aku semakin berdebar-debar. Ibuku ngasih pass foto? Ah, sudah! Matilah aku!
“Tidak sangka, orang aslinya ganteng juga.” sambung ibu Sarimah.
Aku mulai merasa pipiku panas. Jarang sekali ada orang yang memuji aku
tampan. Kalaupun ada, pasti ada maksudnya. Atau mungkin, ibu Sarimah
hanya ingin menjaga perasaanku.
“Itulah saya heran. Karena Salman bilang, orangtuanya yang mengatur. Gak
nyangka, zaman sekarang masih ada ya pernikahan yang diatur oleh orang
tua. Apa rahasianya Pak?” Rudy memang tidak menunggu lama, terus saja
dia bertanya sambil ketawa-ketawa kecil. Jadi, walaupun ini persoalan
serius, tetapi ia nampak seperti bergurau.
“Tidak ada rahasia apa-apa. Emang Salman gak ngasih tahu kamu?”
Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan menggeleng.
Lalu aku bilang, “Sebenarnya saya pun tidak tahu apa-apa.”
“Kamu tidak tanya ayah dan ibumu?”
Pada saat itulah, aku mulai merasa menyesal. Ya, aku tidak tanya pun
kepada ayah dan ibuku mengapa beliau memilih Sarimah. Yang aku tahu,
ibuku cuma tanya, “Mau ibu carikan kamu jodoh?” Aku pun menjawab,
“Boleh.” Tiba-tiba, dua minggu kemudian, aku sudah bertunangan dan dalam
satu bulan akan menikah. Itupun tunangan pakai uang ibuku. Memalukan
betul.
“Saya tidak tanya.”
Ayah Sarimah mulai ketawa kecil.
“Begini, saya dan ayah kamu itu memang sudah lama kenal. Suatu hari,
ngobrol-ngobrol di kedai kopi, kami bercerita tentang anak
masing-masing, kemudian bercerita tentang jodoh, dan akhirnya, terus
kepada rancangan mau menjodohkan anak masing-masing. Setelah itu, inilah
yang terjadi,” jelas ayah Sarimah.
“Begitu saja Pak? Mudah sekali ya!” Rudy nampak terkejut, dan aku pun sebenarnya agak terkejut juga. Ya, mudah sekali ternyata.
Ibu dan ayah Sarimah hanya tersenyum lebar.
Ayahnya berkata, “Tidaklah semudah itu. Kami pun mau yang terbaik untuk
anak bungsu kami. Kami pun mencari tahu latar belakang Salman.”
“Jadi Bapak tahu Salman ini menganggur dan tidak punya duit?” tanya
Rudy, membuat aku geram tetapi dalam saat yang sama merasa sangat malu.
Tiba-tiba aku berdoa supaya tubuhku menjadi kecil, supaya aku bisa
menyembunyikan bukan saja muka, tetapi seluruh tubuhku di balik bantal.
“Tahu,” jawab ayah Sarimah sambil ketawa kecil lagi.
“Jadi?” Rudy bertanya sambil memutar tangan kanannya. Aku rasa,
sebenarnya Rudy mau bilang, “Jadi, mengapa masih pilih Salman?” Mungkin
karena tidak sampai hati, dia cuma pakai isyarat tangan saja. Ya, aku
tahu betul sebab sudah lama aku kenal Rudy.
“Itulah yang diberitahu oleh ayahnya. Katanya, anak dia tidak tampan,
tidak ada pekerjaan tetap, dan malah, bulan-bulan masih minta duit dari
ibunya. Tetapi, dari situlah Bapak tahu, Salman ini akan menjadi suami
yang baik.” Ayah Sarimah tidak lagi tersenyum, sebaliknya memandangku
dengan wajah serius. Aku terus menunduk malu. Malunya aku. Rupanya
mereka sudah tahu kalau aku ini masih minta duit selama berbulan-bulan
kepada ibuku.
“Jadi?” Rudy sekali lagi menggerak-gerakkan tangannya.
“Ayahnya juga bilang, anaknya sering menelepon kampung, paling tidak dua
kali seminggu. Dan, walaupun dia tidak punya pekerjaan tetap, kerjanya
pun tidak menentu dengan gaji yang kecil, tetapi setiap kali mendapat
gaji, ayahnya memberitahu, dia tidak pernah lupa memberikan sedikit
kepada ibunya. Walaupun cuma dua ratus ribu. Jadi, bayangkan walaupun
hampir tiap bulan dia kekurangan uang, tapi dia masih mau membantu orang
tua. Itulah namanya tanggungjawab!”
Aku tertegun. Aku sebenarnya tidak menyangka ayahku menceritakan perkara itu juga kepada ayah Sarimah.
“Ooo... Tanggungjawab,” Hanya itu kata Rudy sambil mengangguk-angguk.
Ayah Sarimah menyambung perkataannya, “Tanggungjawab itu, bukan saat
kita kaya saja. Tanggungjawab itu adalah sesuatu yang kita pegang disaat
kita susah dan disaat kita senang. Lalu, dalam rumahtangga, tidak
selamanya senang. Lebih banyak saat susahnya. Jadi, Bapak akan lega,
karena tahu anak Bapak berada dalam tangan laki-laki yang
bertanggungjawab.”
“Betul juga ya Pak. Lagi pula, Salman ini setahu saya dia tidak pernah
lupa shalat dan tidak punya pacar, karena dia takut perempuan, hehe.”
tambah Rudy yang membuat aku tersipu-sipu. Tidak kusangka Rudy memujiku.
“Shalat itulah perkara utama yang Bapak tanya kepada ayahnya, dan pacar pun Bapak tanya.” Ayah Sarimah kembali tertawa kecil.
“Susah mau cari orang seperti Bapak di zaman ini. Zaman sekarang, semua
mau menantu kaya,” tambah Rudy lalu terlihat wajahnya tiba-tiba murung.
Mungkin dia sedang bercerita tentang dirinya sendiri secara tidak sadar.
“Dulu, waktu Bapak menikahi ibu Sarimah, hidup Bapak pun susah. Bapak
juga orang susah, cuma bekerja sebagai pembantu pejabat, sedangkan ibu
Sarimah itu anak orang kaya di kampung. Alhamdulillah, keluarga istri
Bapak termasuk yang terbuka. Lalu, kenapa Bapak tidak memberi peluang
kepada orang yang susah, sedangkan Bapak dulu pun diberi peluang. Yang
penting, dia susah bukan karena dia malas, tetapi karena memang belum
rezeki. Beda sekali, orang malas dengan orang yang belum ada rezeki.
Kalau susah karena duduk-duduk di rumah dan tidur berguling-guling,
memang Bapak tidak akan terima,” jelas ayah Sarimah dengan panjang
lebar.
Aku berasa mulai sedikit lega. Tidak kusangka, begitu pikiran ayah dan
ibu Sarimah. Perlahan-lahan, perasaan maluku itu mulai berkurang.
Perlahan-lahan juga, perasaan curigaku kepada Sarimah ikut berkurang.
“Anak Bapak hebat juga. Dia mau nurut kata Bapak. Zaman sekarang,
biasanya semuanya sudah punya pacar,” kata Rudy. Aku tahu, Rudy juga
sedang memasang umpan untuk mengetahui latar belakang Sarimah sekaligus.
Aku kembali berdebar-debar.
“Alhamdulillah. Bapak sangat bersyukur diberi anak seperti Sarimah.
Awalnya, Bapak khawatir juga, tetapi setelah satu minggu, Sarimah bilang
setuju. Cuma Bapak tidak tahu apa yang membuat diadia setuju, mungkin
Salman bisa tanya dia sendiri setelah menikah nanti,” kata ayah Sarimah,
lalu dia, istrinya dan Rudy tertawa bersama. Tinggal aku dan Sarimah
saja yang duduk diam-diam malu. Sempat aku melirik Sarimah, dan bertanya
dalam hati, “Mengapa kamu mau dengan lelaki seperti aku?'
***
Alhamdulillah. Allah mudahkan usaha kami. Aku sudah sah menjadi suami
Sarimah, dan setelah bersalaman dengan Sarimah, rasa gentar dan maluku
kepada Sarimah mulai berkurang. Malah aku mulai memanggilnya, 'sayang'.
Lalu setelah resepsi, aku dan Sarimah masuk ke dalam kamar, berdua-duan
untuk pertama kalinya.
Dalam hati, masih kuingat pertanyaanku pada malam aku bertemu ayah dan
ibu Sarimah. Kini pertanyaan dalam hati itu aku nyatakan dengan lidah,
“Sayang, mengapa kamu setuju untuk menikah dengan laki-laki sepertiku?
Laki-laki yang belum tentu masa depannya, dan mungkin juga membuat
dirimu menderita.”
Tidak kusangka, pertanyaan melalui lidahku menjadi lebih panjang dan detil dari pertanyaan dalam hati.
Sarimah yang saat itu sedang duduk malu-malu, memandangku lalu mencium
tanganku, dan berkata, “Ampuni Sarimah bang, ampuni Sarimah.”
Aku mulai berdebar-debar dan tidak enak hati.
“Ampuni apa sayang?”
“Sebab, Sarimah sebenarnya sempat curiga juga dengan Abang. Sarimah
sempat tidak yakin dengan Abang. Malah Sarimah minta tolong kawan
Sarimah, yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan Abang di kota supaya
mencari tahu latar belakang Abang. Malah, Sarimah juga solat
iskhtikarah hanya karena ragu-ragu kepada Abang.”
Debar jantungku kembali menurun. Rupanya, Sarimah lebih dulu mencari
tahu latar belakangku? Malunya aku. Tetapi sekarang dia sudah jadi
istriku, lalu aku angkat kepalanya dan kupandangi matanya.
“Abang ampunkan. Abang pun minta maaf, sebab Abang pun pernah juga berasa curiga kepadamu.”
Sarimah tersenyum. Bukan senyum manis biasa, tetapi senyuman seorang
perempuan yang bahagia, dan senyuman itu sangat ajaib karena ikut
membuat aku merasa bahagia. Mungkin inilah perasaan bahagia yang datang
karena kita membahagiakan orang lain. Tetapi pertanyaanku tadi masih
belum terjawab sepenuhnya.
“Jadi, apa kata kawanmu?” lanjutku ingin tahu. Aku risau, takut kawannya membicarakan yang tidak-tidak.
“Katanya, Abang ini tidak punya pekerjaan tetap. Motorpun pinjam punya
teman, tapi katanya dia selalu melihat Abang membaca koran untuk mencari
kerja, mengirim surat lamaran, dan selalu memeriksa kotak surat
kalau-kalau ada surat lamaran yang dibalas. Maksudnya, Abang ini orang
yang rajin berusaha. Katanya lagi, dia tidak pernah melihat Abang keluar
dengan perempuan. Shalat pun pasti Abang berjamaah.”
Aku mulai tersipu malu. Takut ketahuan kalau aku tersipu, aku pun
bertanya, “Tetapi orang secantik dirimu pasti banyak orang yang tertarik
kan? Pasti banyak yang mau meminang dirimu, dan mungkin pasti juga yang
ada sudah datang ke rumah untuk meminang.”
Sarimah sekali lagi tersenyum.
“Ya, memang banyak laki-laki yang mencoba dekat dengan Sarimah, tetapi Sarimah sangat takut. Sarimah ingat dengan kakak”
“Mengapa dengan kakak, sayang?” tanyaku segera.
Sarimah pun bercerita panjang lebar, dan aku baru tahu kalau kakaknya
sudah meninggal. Kakak Sarimah dulu juga seorang perempuan cantik, dan
banyak laki-laki yang meminangnya. Akhirnya, dia menikah dengan lelaki
pilihan hatinya sendiri. Laki-laki yang tampan, berpendidikan tinggi,
dan bekerja dengan gaji yang lumayan. Sayangnya, setelah satu tahun
menikah, suami kakaknya mulai berubah karena belum juga mendapatkan
anak. Dia mulai pulang terlambat, dan suka marah-marah.
Bahkan, suaminya sampai di PHK karena krisis ekonomi. Hidup mereka
menjadi susah, dan suaminya juga semakin banyak berubah. Dia sudah tidak
pulang berhari-hari, apabila pulang, hanya untuk meminta uang,
marah-marah dan memukul istrinya. Kemudian terungkaplah bahwa selama ini
suami kakaknya itu sudah memiliki perempuan lain. Lalu pada hari itu,
dengan hati yang kusut, kakak Sarimah gagal mengendarai mobilnya hingga
kecelakaan dan meninggal dunia. Diakhir ceritanya itu, aku langsung
menggenggam tangan Sarimah erat-erat.
“Karena itulah, Sarimah takut kalau mau menerima laki-laki sembarangan
dalam hidup Sarimah. Malahan, Sarimah juga sebenarnya sudah
mengamanahkan ayah dan ibu untuk mencari laki-laki yang sesuai untuk
Sarimah. Biar tidak kaya, biar tidak tampan, tetapi lelaki itu mampu
membahagiakan hidup dengan kasih sayang dan mendamaikan hati dengan
agama.”
Akhirnya, semuanya sudah jelas. Kenapa ayah dan ibu Sarimah memilih
laki-laki sepertiku, dan mengapa Sarimah menerimaku dalam hidupnya.
Genggaman tanganku semakin kuat.
“Abang... Tolong jaga Sarimah. Jaga dan mohon jangan lukai hati Sarimah.
Mohon bang,” rayu Sarimah dan air matanya pun mulai menggenang, dan
kemudian menetes di pipinya yang cantik. Aku segera menyeka air mata
Sarimah.
“Abang bukanlah laki-laki terbaik, dan Abang tidak mampu berjanji
menjadi suami yang terbaik untukmu. Abang cuma mampu berjanji, Abang
berusaha menjadi laki-laki yang terbaik itu, dan berusaha menjadi suami
yang terbaik untukmu,” kataku perlahan, dan Sarimah terus memelukku. Aku
merasa, bahuku sudah basah dengan air mata Sarimah.
Karya : Bahruddin Bekri
Seminggu lagi, aku akan menikah, tetapi hari ini aku masih di sini, kota
besar, sendiri memikirkan nasib. Tidak ada uang, tidak ada mobil, tidak
ada pekerjaan, tidak ada apa-apa selain, handphone murah, dan oh...
handphoneku ini juga tak ada pulsanya.
Sewa kontrakan pun belum aku bayar, tetapi aku akan menikah seminggu
lagi. Acaranya sederhana, menikah dengan gadis kampung sebelah, di rumah
keluarga gadis itu, dan aku juga tidak kenal siapa gadis itu. Orang
tuaku yang mengaturnya, dan aku masih berpikir, mengapa orang tua gadis
itu mau menikahkan anaknya dengan seorang laki-laki seperti aku.
Aku lelaki yang apabila ditanya apa kerjanya, aku tidak tahu bagaimana
harus menjawab. Aku memang bekerja, tetapi hanya kerja sambilan di
hotel, membantu kawan-kawan yang berjualan online di internet, dan
sesekali mengikuti seminar MLM. Kebanyakan waktu dihabiskan duduk-duduk
di kontrakan, menatap surat kabar untuk mencari kerja.
Lalu, atas atas dasar apa ayah dan ibu gadis itu, mau menikahkan anaknya
denganku, dan hantaran kawinnya, cuma senaskah Al Quran, dan mas kawin
cuma Rp250.000. Lebih mengherankan, semua biaya acara ditanggung oleh
keluarga si gadis.
Kenapa? Aku semakin tidak mengerti, kok mau orang tua gadis itu,
mengawinkan aku dengan anak perempuannya yang cantik, yang berkerudung
rapi. Ya, aku sudah melihat fotonya, dan karena kecantikannya, aku
walaupun dengan semua keheranan itu, setuju juga dengan pernikahan yang
diatur oleh keluarga ini. Ditambah, perempuan itu lulusan universitas
luar negeri, berkerja sebagai pegawai negeri yang gajinya, cukup untuk
membayar angsuran mobil BMW.
Pada mulanya, aku pikir aku ibarat tikus yang jatuh ke dalam gudang
beras, tapi ketika acara semakin dekat, aku mulai berpikir, mungkin ada
yang disembunyikan oleh keluarga si gadis. Apakah foto yang diberi sama
dengan wajah asli perempuan itu? Apakah perempuan itu sebenarnya janda?
Atau yang paling menakutkan, jangan-jangan perempuan itu sedang
mengandung anak orang lain, dan aku menjadi 'ayah' untuk anak itu.
Dari sinilah kisahku dimulai.
***
Tengah hari itu aku nekat pulang ke kampung halaman. Aku nekat, mencari
tahu latar belakang calon istriku, dan mengapa ibu bapaknya, mau
melepaskan anaknya kepada laki-laki seperti aku. Cuma, aku tidak tahu
bagaimana cara untuk mencari tahu. Selama di dalam bus, aku beruntung
duduk di sebelah seorang laki-laki yang ramah.
Kepada laki-laki itu aku bertanya, “Bagaimana cara cari tahu latar belakang calon istri kita?”
“Mudah kok. Kalau dia ada FB, buka FB dia, atau cari saja nama
lengkapnya di internet. Nanti ada lah informasi tentang dia. Kalau
susah, pergi tempat kerjanya, tanya kawan-kawannya, atau tanya
saudara-saudaranya.”
Untuk mencari tahu tentang calonku itu di internet, nama lengkapya saja
aku tidak tahu. Aku cuma diberitahu, namanya Sarimah. Berapa banyak
orang punya nama Sarimah di internet? Banyak! Lalu aku ambil nasihat
kedua dari laki-laki itu, tanya rekan-rekan sekerjanya, dan mujur aku
tahu gadis itu bekerja di kantor Bappenas.
Sampai di kampung, aku pinjam motor ayah, lalu pergi ke kantor Bappenas.
Aku tidak tahu apa jabatannya, tetapi kantor sebesar itu, pasti banyak
orang yang namanya sama. Tetapi agak tidak logis juga kalau aku langsung
masuk ke kantor dan bertanya tentang calon istriku. Lalu akhirnya aku
ambil keputusan menunggu dan memperhatikan di seberang jalan.
Aku pikir, mungkin pada waktu makan tengah hari, Sarimah dan
kawan-kawannya akan keluar, dan apabila sudah ingat wajah
kawan-kawannya, setelah pulang nanti boleh lah saya tanya tentang
Sarimah. Itulah rencanaku, rencana yang diatur dengan baik. Lalu aku pun
duduk di atas motor menghadap kantor Bappenas yang cuma satu beberapa
meter di depanku.
Kemudian datang pula rasa menyesal, sebab pada jam 11 pagi, cuaca sudah
terik. Di situ belum ada pohon yang rindang, karena semuanya baru saja
dipangkas dahannya. Sudah panas terik, satpam di luar kantor mulai
memperhatikanku. Bukan Cuma satpam, malah orang yang lalu lalang di situ
turut memperhatikan.
Aku lupa, jam kantor seperti itu, segala perbuatan yang tidak biasa akan
jadi perhatian. Perbuatanku, yang duduk di depan kantor bukan perkara
biasa. Nampak terlalu aneh.
Akhirnya, aku semakin menyesal karena dari jauh aku lihat seorang
perempuan keluar dari kantor. Semakin dekat perempuan itu, semakin aku
berdebar. Wajahnya semakin jelas, dengan kerudung kuning muda, dan baju
kurung biru muda. Dia adalah calon istriku, yang Cuma aku kenal namanya.
Sarimah. Hanya itu.
Aku sempat berpikir untuk menghidupkan motor dan kemudian pergi dari
situ. Tetapi semuanya sudah terlambat, kemudian Sarimah berkata, “Kamu
Salman?”
Aku memberikan senyuman yang paling terpaksa pernah aku buat. Lebih
terpaksa daripada senyum terpaksa apabila bertemu dengan guru semasa
sekolah dahulu.
“Ya, saya. Kok kamu bisa tahu?”
“Kawan di kantor yang beritahu, katanya ada laki-laki di sebearang
jalan. Mereka menggodaku, katanya mungkin aku kenal, dan aku pikir
wajahmu sama dengan foto yang ditunjukkan oleh ibu.”
Satu kantor pun tahun aku menunggu disini?! Duh! Payah betul caraku
mencari informasi ini. Kemudian aku memerhatikan wajah Sarimah, dan
ternyata wajah aslinya jauh lebih cantik daripada wajah di foto. Mungkin
karena itu pass foto. Orangtuanya pun hanya memberikan satu foto.
Entahlah, ibu dan ayahku pun mungkin memberikan pass fotoku. Ketika itu
juga aku merasa jantungku berdebar, karena saat mengambil foto itu, aku
baru saja bangun tidur.
Aku perhatikan pula perutnya, tetapi tidak nampak ada tanda-tanda
perempuan mengandung. Saat aku memperhatikan, terasa tangannya menyilang
menutupi perutnya, dan aku malu karena ketahuan memperhatikan perutnya.
Pasti dia sadar kalau aku memperhatikan perutnya, entah apa yang dia
pikirkan sekarang.
Aku rasa, Sarimah ini adalah perempuan yang berani. Berani untuk keluar
berjumpa denganku. Kalau perempuan lain, tentu mereka tidak berani.
Barulah aku sadar, inilah pertemuan pertamaku dengan calon istri aku.
Pertemuan dalam keadaan yang agak aneh.
Selepas pertanyaan itu, kami terdiam. Kami hanya berdiri di tepi jalan
raya, sambil memandang ke arah yang sebenarnya agak aneh untuk
dipandang. Aku memandang ke ujung jalan, dan Sarimah memandang ke arah
motor ayahku.
Aku tahu, ini keadaan yang tidak betul dan aku sebagai laki-laki perlu
menunjukkan contoh yang baik kepada calon istriku. Jadi, selepas puas
berpikir dan memberanikan diri, aku berkata, “Sudah makan?”
“Saya sedang diet.”
Nasib baik bagiku dia bilang sedang diet. Bagaimana kalau dia bilang,
ayo kita makan, aku akan sangat jahat sekali, karena di dalam dompetku
cuma ada uang dua puluh ribu rupiah. Mana cukup. Setelah itu, keadaan
kembali sepi.
“Aku mau kembali ke kantor,” kata Sarimah sopan dan membuatku lega.
“Aku juga mau pulang,” balasku, dan ternyata, rasa legaku tidak berlangsung lama.
“Malam ini datanglah ke rumah.”
“Datang ke rumahmu?”
“Iya, makan malam dengan keluargaku.”
Aku terdiam. Berdebar-debar.
“Jemputlah sekalian ayah dan ibumu kalau mereka tidak ada halangan.”
“Baiklah, selepas maghrib insya Allah aku sampai.”
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa tidak puas hati dengan diriku.
Mengapa aku tiba-tiba menjadi kaku? Seharusnya, pada waktu itulah aku
banyak bertanya dan mencari tahu kenapa dia dan keluarganya memilih aku.
Cuma malam ini aku merasa sedikit bingung. Alamat rumah Sarimah, aku
bisa tanya ayahku, tapi mungkinkah aku patut bawa ayah dan ibuku
sekaligus? Tidak.. Tidak.... Bukannya aku tidak mau, biasanya kalau ada
ibu, habis semua rahasia anaknya dia ceritakan. Beliau senang sekali
menceritakan rahasia anaknya.
Lagipula aku ada banyak rahasia yang tidak patut Sarimah dan orangtuanya
tahu. Rahasia yang paling aku takuti dibocorkan oleh ibu adalah hampir
setiap bulan aku masih meminta uang kepada ibuku. Memang memalukan,
tetapi untuk pergi seorang diri, aku juga tidak berani.
Akhirnya, aku punya ide paling bagus. Aku melajukan motor ayah langsung
ke rumah kawan lamaku, Rudy. Bukan sekedar kawan lama, tetapi juga
sahabat karib. Aku yakin dia ada di rumah, karena dia juga senasib
denganku, belum ada pekerjaan tetap. Bedanya, dia bertarung hidup di
kampung, dan aku bertarung hidup di kota.
Sesampainya di rumah Rudy, aku lihat Rudy sedang duduk di tangga sambil
bermain gitar. Itulah kemampuan Rudy yang sangat aku cemburui. Aku tidak
pandai bermain gitar, bahkan tak tahu caranya.... oh... ada lagi
rupanya kemahiran Rudy yang tidak aku miliki. Rudy pandai menggoda gadis
dengan bermain gitar, dan Rudy sangat berani berhadapan dengan
perempuan, tidak seperti aku. Itulah akibatnya, aku tidak punya
keyakinan apabila berhadapan dengan perempuan.
“Lama banget kau gak muncul,” kata Rudy saat aku duduk di sebelahnya.
“Masa lama sih. Baru juga dua bulan lebih.”
“Lama itu.”
Aku diam, dan coba mendengarkan petikan gitar lagu rock terkenal, 'Suci
Dalam Debu'. Aku coba menyusun kata untuk mengajaknya menemaniku malam
ini, tetapi belum ada kata yang bagus.
“Aku dengar seminggu lagi kau mau nikah. Kok gak ngundang?” kata Rudy,
dan itu secara tidak langsung memberikanku jalan untuk melaksanakan
rencanaku.
“Ini acara pihak perempuan, jadi mereka cuma ngundang kerabat perempuan aja.”
“Kerabatmu gimana?”
Aku diam, karena aku tidak tahu bagaimana menyampaikannya. Sebab dengan
keuanganku sekarang, hidang mie goreng kepada tamupun aku tidak mampu.
“Lihat nanti saja lah. Kalau nanti kau sampai ke rumah ku, kau pergi dulu saja.”
Rudy semakin mengencangkan petikan gitarnya. Kini lagu Adele pula,
'Someone like you'. Entah mengapa, lagu yang temanya kecewa saja yang
dia mainkan saat ini.
“Dia cantik gak?” Rudy memandang dengan senyuman penuh berharap.
“Cantik.”
“Gimana bisa kenal dia?” Senyuman Rudy kini semakin tinggi harapannya.
Harapan jenis apa aku tidak tahu. Mungkin harapan untuk melihat aku
bahagia. Walaupun aku merasa seperti Rudy pasti berpikir tidak logis aku
mendapatkan gadis cantik.
“Ayah dan ibuku yang menjodohkan. Aku terima saja.”
“Kau belum pernah ketemu dia?”
“Baru tadi.”
“Memang dia cantik?”
“Memang cantik.”
Rudy kini memperlihatkan wajah orang yang sedang gusar dan berpikir panjang.
“Apa pekerjaannya?”
“Pegawai di Bappenas. Aku tidak tahu jabatannya. Tetapi ibuku bilang, dia punya jabatan cukup tinggi.”
“Hmm... Dia cantik, pekerjaan bagus, tapi kok dia mau kawin denganmu? Heran.”
Aku menelan liur. Nampaknya Rudy juga sudah merasa ada sesuatu yang tidak benar. Dia pandangi wajahku.
Rudy menyambung, “Kau, ganteng juga nggak. Heran-heran.”
Aku tersenyum pahit. Aku akui, aku memang tidak tampan dan itu pun sebenarnya merisaukanku juga.
“Kau tidak heran?” tanya Rudy.
“Ya heran juga sih.”
“Kau sudah periksa latar belakang perempuan itu?”
Aku pandangi wajah Rudy. Akhirnya peluangku tiba.
“Malam ini kau ikut aku. Temani aku ke rumah calonku itu.”
“Hah? Buat apa?” Rudy memandang heran.
“Dia ajak aku makan malam di sana. Ketemu dengan ayah dan ibunya. Nanti itu, baru akan aku cari tahu latar belakangnya.”
“Kau pergi sajalah sendiri.” Rudy kembali memetik gitar.
“Kamu kayak gak tahu aku. Aku segan. Aku butuh kamu temani aku. Kamu kan berani, mungkin kamu bantu aku kepo juga.”
“Kepo? Kepoin apa?”
“Tanyain lah hal-hal yang bisa ditanyain. Kamu kan berpengalaman dalam dunia percintaan. Pasti bisa bantu aku.”
Akhirnya, setelah lama aku bujuk, Rudy pun setuju.
***
Malam itu, walaupun aku sudah salin alamat dari ayahku, tetap saja aku
tersesat. Aku sampai selepas Isya, bukannya selepas Maghrib. Aku lihat
makanan sudah terhidang di atas meja, dan nampak sudah dingin. Mungkin
perut Sarimah dan orang tuanya juga sudah lapar.
“Maafkan saya karena terlambat.”
“Gak apa-apa, masuklah,” kata seorang lelaki yang sebaya ayahku. Mungkin dia adalah ayah Sarimah dan calon ayah mertuaku.
“Ooo... Ini dia Salman. Ayahmu bilang kamu akan pulang lusa, kok cepat
bener baliknya?” tegur seorang perempuan, yang aku yakin adalah ibu
Sarimah.
“Ada yang harus diurus dulu di rumah,” balasku dan kemudian berkata,
“Kenalkan ini kawan saya Rudy. Ibu dan ayah saya tidak bisa datang.”
Kemudian, Sarimah keluar dari dapur dan dia kelihatan sangat cantik.
Tertegun aku dan aku sempat melihat wajah Rudy yang ikut tertegun.
“Beruntung kamu,” bisik Rudy.
Selepas makan, kami duduk di ruang tamu dan pada waktu itulah, aku lirik-lirik Rudy supaya mulai menjalankan rencananya.
“Kata Salman, ini pertama kali dia berjumpa dengan bapak dan ibu ya.
Malah dengan Sarimah pun baru tadi ketemu.” kata Rudy, dan aku mulai
berdebar-debar.
“Iya, ini pertama kalinya. Sebelumnya, kami lihat wajahnya dalam pass foto yang diberi oleh ibunya.” jawab ayah Sarimah.
Aku semakin berdebar-debar. Ibuku ngasih pass foto? Ah, sudah! Matilah aku!
“Tidak sangka, orang aslinya ganteng juga.” sambung ibu Sarimah.
Aku mulai merasa pipiku panas. Jarang sekali ada orang yang memuji aku
tampan. Kalaupun ada, pasti ada maksudnya. Atau mungkin, ibu Sarimah
hanya ingin menjaga perasaanku.
“Itulah saya heran. Karena Salman bilang, orangtuanya yang mengatur. Gak
nyangka, zaman sekarang masih ada ya pernikahan yang diatur oleh orang
tua. Apa rahasianya Pak?” Rudy memang tidak menunggu lama, terus saja
dia bertanya sambil ketawa-ketawa kecil. Jadi, walaupun ini persoalan
serius, tetapi ia nampak seperti bergurau.
“Tidak ada rahasia apa-apa. Emang Salman gak ngasih tahu kamu?”
Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan menggeleng.
Lalu aku bilang, “Sebenarnya saya pun tidak tahu apa-apa.”
“Kamu tidak tanya ayah dan ibumu?”
Pada saat itulah, aku mulai merasa menyesal. Ya, aku tidak tanya pun
kepada ayah dan ibuku mengapa beliau memilih Sarimah. Yang aku tahu,
ibuku cuma tanya, “Mau ibu carikan kamu jodoh?” Aku pun menjawab,
“Boleh.” Tiba-tiba, dua minggu kemudian, aku sudah bertunangan dan dalam
satu bulan akan menikah. Itupun tunangan pakai uang ibuku. Memalukan
betul.
“Saya tidak tanya.”
Ayah Sarimah mulai ketawa kecil.
“Begini, saya dan ayah kamu itu memang sudah lama kenal. Suatu hari,
ngobrol-ngobrol di kedai kopi, kami bercerita tentang anak
masing-masing, kemudian bercerita tentang jodoh, dan akhirnya, terus
kepada rancangan mau menjodohkan anak masing-masing. Setelah itu, inilah
yang terjadi,” jelas ayah Sarimah.
“Begitu saja Pak? Mudah sekali ya!” Rudy nampak terkejut, dan aku pun sebenarnya agak terkejut juga. Ya, mudah sekali ternyata.
Ibu dan ayah Sarimah hanya tersenyum lebar.
Ayahnya berkata, “Tidaklah semudah itu. Kami pun mau yang terbaik untuk
anak bungsu kami. Kami pun mencari tahu latar belakang Salman.”
“Jadi Bapak tahu Salman ini menganggur dan tidak punya duit?” tanya
Rudy, membuat aku geram tetapi dalam saat yang sama merasa sangat malu.
Tiba-tiba aku berdoa supaya tubuhku menjadi kecil, supaya aku bisa
menyembunyikan bukan saja muka, tetapi seluruh tubuhku di balik bantal.
“Tahu,” jawab ayah Sarimah sambil ketawa kecil lagi.
“Jadi?” Rudy bertanya sambil memutar tangan kanannya. Aku rasa,
sebenarnya Rudy mau bilang, “Jadi, mengapa masih pilih Salman?” Mungkin
karena tidak sampai hati, dia cuma pakai isyarat tangan saja. Ya, aku
tahu betul sebab sudah lama aku kenal Rudy.
“Itulah yang diberitahu oleh ayahnya. Katanya, anak dia tidak tampan,
tidak ada pekerjaan tetap, dan malah, bulan-bulan masih minta duit dari
ibunya. Tetapi, dari situlah Bapak tahu, Salman ini akan menjadi suami
yang baik.” Ayah Sarimah tidak lagi tersenyum, sebaliknya memandangku
dengan wajah serius. Aku terus menunduk malu. Malunya aku. Rupanya
mereka sudah tahu kalau aku ini masih minta duit selama berbulan-bulan
kepada ibuku.
“Jadi?” Rudy sekali lagi menggerak-gerakkan tangannya.
“Ayahnya juga bilang, anaknya sering menelepon kampung, paling tidak dua
kali seminggu. Dan, walaupun dia tidak punya pekerjaan tetap, kerjanya
pun tidak menentu dengan gaji yang kecil, tetapi setiap kali mendapat
gaji, ayahnya memberitahu, dia tidak pernah lupa memberikan sedikit
kepada ibunya. Walaupun cuma dua ratus ribu. Jadi, bayangkan walaupun
hampir tiap bulan dia kekurangan uang, tapi dia masih mau membantu orang
tua. Itulah namanya tanggungjawab!”
Aku tertegun. Aku sebenarnya tidak menyangka ayahku menceritakan perkara itu juga kepada ayah Sarimah.
“Ooo... Tanggungjawab,” Hanya itu kata Rudy sambil mengangguk-angguk.
Ayah Sarimah menyambung perkataannya, “Tanggungjawab itu, bukan saat
kita kaya saja. Tanggungjawab itu adalah sesuatu yang kita pegang disaat
kita susah dan disaat kita senang. Lalu, dalam rumahtangga, tidak
selamanya senang. Lebih banyak saat susahnya. Jadi, Bapak akan lega,
karena tahu anak Bapak berada dalam tangan laki-laki yang
bertanggungjawab.”
“Betul juga ya Pak. Lagi pula, Salman ini setahu saya dia tidak pernah
lupa shalat dan tidak punya pacar, karena dia takut perempuan, hehe.”
tambah Rudy yang membuat aku tersipu-sipu. Tidak kusangka Rudy memujiku.
“Shalat itulah perkara utama yang Bapak tanya kepada ayahnya, dan pacar pun Bapak tanya.” Ayah Sarimah kembali tertawa kecil.
“Susah mau cari orang seperti Bapak di zaman ini. Zaman sekarang, semua
mau menantu kaya,” tambah Rudy lalu terlihat wajahnya tiba-tiba murung.
Mungkin dia sedang bercerita tentang dirinya sendiri secara tidak sadar.
“Dulu, waktu Bapak menikahi ibu Sarimah, hidup Bapak pun susah. Bapak
juga orang susah, cuma bekerja sebagai pembantu pejabat, sedangkan ibu
Sarimah itu anak orang kaya di kampung. Alhamdulillah, keluarga istri
Bapak termasuk yang terbuka. Lalu, kenapa Bapak tidak memberi peluang
kepada orang yang susah, sedangkan Bapak dulu pun diberi peluang. Yang
penting, dia susah bukan karena dia malas, tetapi karena memang belum
rezeki. Beda sekali, orang malas dengan orang yang belum ada rezeki.
Kalau susah karena duduk-duduk di rumah dan tidur berguling-guling,
memang Bapak tidak akan terima,” jelas ayah Sarimah dengan panjang
lebar.
Aku berasa mulai sedikit lega. Tidak kusangka, begitu pikiran ayah dan
ibu Sarimah. Perlahan-lahan, perasaan maluku itu mulai berkurang.
Perlahan-lahan juga, perasaan curigaku kepada Sarimah ikut berkurang.
“Anak Bapak hebat juga. Dia mau nurut kata Bapak. Zaman sekarang,
biasanya semuanya sudah punya pacar,” kata Rudy. Aku tahu, Rudy juga
sedang memasang umpan untuk mengetahui latar belakang Sarimah sekaligus.
Aku kembali berdebar-debar.
“Alhamdulillah. Bapak sangat bersyukur diberi anak seperti Sarimah.
Awalnya, Bapak khawatir juga, tetapi setelah satu minggu, Sarimah bilang
setuju. Cuma Bapak tidak tahu apa yang membuat diadia setuju, mungkin
Salman bisa tanya dia sendiri setelah menikah nanti,” kata ayah Sarimah,
lalu dia, istrinya dan Rudy tertawa bersama. Tinggal aku dan Sarimah
saja yang duduk diam-diam malu. Sempat aku melirik Sarimah, dan bertanya
dalam hati, “Mengapa kamu mau dengan lelaki seperti aku?'
***
Alhamdulillah. Allah mudahkan usaha kami. Aku sudah sah menjadi suami
Sarimah, dan setelah bersalaman dengan Sarimah, rasa gentar dan maluku
kepada Sarimah mulai berkurang. Malah aku mulai memanggilnya, 'sayang'.
Lalu setelah resepsi, aku dan Sarimah masuk ke dalam kamar, berdua-duan
untuk pertama kalinya.
Dalam hati, masih kuingat pertanyaanku pada malam aku bertemu ayah dan
ibu Sarimah. Kini pertanyaan dalam hati itu aku nyatakan dengan lidah,
“Sayang, mengapa kamu setuju untuk menikah dengan laki-laki sepertiku?
Laki-laki yang belum tentu masa depannya, dan mungkin juga membuat
dirimu menderita.”
Tidak kusangka, pertanyaan melalui lidahku menjadi lebih panjang dan detil dari pertanyaan dalam hati.
Sarimah yang saat itu sedang duduk malu-malu, memandangku lalu mencium
tanganku, dan berkata, “Ampuni Sarimah bang, ampuni Sarimah.”
Aku mulai berdebar-debar dan tidak enak hati.
“Ampuni apa sayang?”
“Sebab, Sarimah sebenarnya sempat curiga juga dengan Abang. Sarimah
sempat tidak yakin dengan Abang. Malah Sarimah minta tolong kawan
Sarimah, yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan Abang di kota supaya
mencari tahu latar belakang Abang. Malah, Sarimah juga solat
iskhtikarah hanya karena ragu-ragu kepada Abang.”
Debar jantungku kembali menurun. Rupanya, Sarimah lebih dulu mencari
tahu latar belakangku? Malunya aku. Tetapi sekarang dia sudah jadi
istriku, lalu aku angkat kepalanya dan kupandangi matanya.
“Abang ampunkan. Abang pun minta maaf, sebab Abang pun pernah juga berasa curiga kepadamu.”
Sarimah tersenyum. Bukan senyum manis biasa, tetapi senyuman seorang
perempuan yang bahagia, dan senyuman itu sangat ajaib karena ikut
membuat aku merasa bahagia. Mungkin inilah perasaan bahagia yang datang
karena kita membahagiakan orang lain. Tetapi pertanyaanku tadi masih
belum terjawab sepenuhnya.
“Jadi, apa kata kawanmu?” lanjutku ingin tahu. Aku risau, takut kawannya membicarakan yang tidak-tidak.
“Katanya, Abang ini tidak punya pekerjaan tetap. Motorpun pinjam punya
teman, tapi katanya dia selalu melihat Abang membaca koran untuk mencari
kerja, mengirim surat lamaran, dan selalu memeriksa kotak surat
kalau-kalau ada surat lamaran yang dibalas. Maksudnya, Abang ini orang
yang rajin berusaha. Katanya lagi, dia tidak pernah melihat Abang keluar
dengan perempuan. Shalat pun pasti Abang berjamaah.”
Aku mulai tersipu malu. Takut ketahuan kalau aku tersipu, aku pun
bertanya, “Tetapi orang secantik dirimu pasti banyak orang yang tertarik
kan? Pasti banyak yang mau meminang dirimu, dan mungkin pasti juga yang
ada sudah datang ke rumah untuk meminang.”
Sarimah sekali lagi tersenyum.
“Ya, memang banyak laki-laki yang mencoba dekat dengan Sarimah, tetapi Sarimah sangat takut. Sarimah ingat dengan kakak”
“Mengapa dengan kakak, sayang?” tanyaku segera.
Sarimah pun bercerita panjang lebar, dan aku baru tahu kalau kakaknya
sudah meninggal. Kakak Sarimah dulu juga seorang perempuan cantik, dan
banyak laki-laki yang meminangnya. Akhirnya, dia menikah dengan lelaki
pilihan hatinya sendiri. Laki-laki yang tampan, berpendidikan tinggi,
dan bekerja dengan gaji yang lumayan. Sayangnya, setelah satu tahun
menikah, suami kakaknya mulai berubah karena belum juga mendapatkan
anak. Dia mulai pulang terlambat, dan suka marah-marah.
Bahkan, suaminya sampai di PHK karena krisis ekonomi. Hidup mereka
menjadi susah, dan suaminya juga semakin banyak berubah. Dia sudah tidak
pulang berhari-hari, apabila pulang, hanya untuk meminta uang,
marah-marah dan memukul istrinya. Kemudian terungkaplah bahwa selama ini
suami kakaknya itu sudah memiliki perempuan lain. Lalu pada hari itu,
dengan hati yang kusut, kakak Sarimah gagal mengendarai mobilnya hingga
kecelakaan dan meninggal dunia. Diakhir ceritanya itu, aku langsung
menggenggam tangan Sarimah erat-erat.
“Karena itulah, Sarimah takut kalau mau menerima laki-laki sembarangan
dalam hidup Sarimah. Malahan, Sarimah juga sebenarnya sudah
mengamanahkan ayah dan ibu untuk mencari laki-laki yang sesuai untuk
Sarimah. Biar tidak kaya, biar tidak tampan, tetapi lelaki itu mampu
membahagiakan hidup dengan kasih sayang dan mendamaikan hati dengan
agama.”
Akhirnya, semuanya sudah jelas. Kenapa ayah dan ibu Sarimah memilih
laki-laki sepertiku, dan mengapa Sarimah menerimaku dalam hidupnya.
Genggaman tanganku semakin kuat.
“Abang... Tolong jaga Sarimah. Jaga dan mohon jangan lukai hati Sarimah.
Mohon bang,” rayu Sarimah dan air matanya pun mulai menggenang, dan
kemudian menetes di pipinya yang cantik. Aku segera menyeka air mata
Sarimah.
“Abang bukanlah laki-laki terbaik, dan Abang tidak mampu berjanji
menjadi suami yang terbaik untukmu. Abang cuma mampu berjanji, Abang
berusaha menjadi laki-laki yang terbaik itu, dan berusaha menjadi suami
yang terbaik untukmu,” kataku perlahan, dan Sarimah terus memelukku. Aku
merasa, bahuku sudah basah dengan air mata Sarimah.
Karya : Bahruddin Bekri