“Saat malam pertama… aku menangis,” kata
seorang teman membuka kisahnya kepada kami. Suasana santai mendadak
berubah mendengar kata-kata itu. Sebagian dari kami jadi tidak sabar
menunggu kalimat berikutnya. Mengapa seorang pengantin pria menangis di
malam yang seharusnya membahagiakan?
“Mengapa kamu menangis di saat bahagia seperti itu?,” pertanyaan salah seorang teman mewakili ketidaksabaran kami.
“Aku menangis karena terbebani pikiran,
bagaimana cara mengembalikan hutang untuk resepsi siang tadi,” jawabnya
seraya mencertakanlebih lanjut tentang resepsi pernikahannya yang
menelan biaya besar sementara kemampuan finansialnya terbatas. Keluarga
terpaksa berhutang.
Ada hikmah berharga dari apa yang
dialami teman saya ini. Karena tuntutan sosial, gengsi, atau keinginan
agar hari pernikahan menjadi momen istimewa, kita terjebak pada sikap
berlebihan saat melangsungkan walimah atau resepsi pernikahan. Mulai
dari undangan yang lux, gedung yang megah dan mahal, bahkan ditambah
dengan hiburan. Padahal pernikahan tetaplah istimewa meskipun walimahnya
sederhana. Yang membuat istimewa adalah akad nikahnya, janji sucinya,
ikatan kuatnya, perubahan hubungan dua insan yang semula bukan mahram
kini menjadi sepasang suami istri.
Memperturutkan tuntutan sosial atau gengsi, banyak orang yang akhirnya rela berhutang besar demi sebuah resepsi pernikahan yang glamour.
Mereka seperti membeli kesenangan dengan membayarnya selama
bertahun-tahun ke depan. Hingga ada yang kepikiran seperti teman tadi.
Ada pula yang karena ingin menggelar
resepsi yang mahal seperti itu, akhirnya ia menunda pernikahan selama
bertahun-tahun. “Belum punya uang untuk walimah,” alasannya. Padahal
kalau mau mencontoh kemudahan yang dituntunkan Rasulullah kepada para
sahabatnya di Madinah, ia telah mampu. Bukankah pernah Rasulullah
‘menegur’ Abdurrahman bin Auf yang menikah tanpa walimah? “Adakanlah
walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing,” demikian
kira-kira pesan Rasulullah kepada sahabatnya yang pebisnis itu. Memang
saat itu Abdurrahman bin Auf baru merintis bisnis setelah hijrah, namun
ia adalah saudagar kaya semasa di Makkah. Dan tak lama setelah itu ia
juga kembali menjadi kaya raya.
Rasulullah sendiri saat menikah di
Madinah juga sederhana dalam walimah. Seperti diriwayatkan Imam Bukhari.
“Tidaklah aku saksikan bagaimana Rasulullah menyelenggarakan walimah
untuk istri beliau seperti yang aku saksikan saat beliau menikahi
Zainab,” kata Anas bin Malik menceritakan walimah nan suci itu, ”Beliau
menyembelih seekor kambing.”
Jadi, menikah itu tak harus mahal. Tak
harus menyusahkan diri dengan berhutang banyak. Apalagi soal mahar, di
negeri ini juga sangat dipermudah. Sebagaimana Rasulullah telah
mempermudah para sahabatnya yang menikah. Yang tidak memiliki banyak
harta, Rasulullah cukup menyarankan mahar cincin, bahkan ada yang cincin
besi. Yang tidak punya lagi, cukup mengajari istrinya hafalan Al
Qur’an. Bukankah sangat mudah?
Dalam Islam, walimah itu yang terpenting adalah i’lan-nya:
pengumuman sehingga masyarakat tahu bahwa seorang muslim dan seorang
muslimah telah menikah, membentuk sebuah keluarga baru.
Maka bagi Antum yang belum menikah,
sesuaikanlah walimah dengan kemampuan finansial. Jangan
berlebih-lebihan. Dan semoga tidak ada lagi pengantin yang menangis di
malam pertama karena terbebani biaya walimah dan tak ada pemuda yang
menunda-nunda pernikahan dengan alasan tidak kuat menanggung biaya
walimah. [Muchlisin BK/bersamadakwah]
Kisah Cinta : Menangis di Malam Pertama
4/
5
Oleh
admin